Tomat: Tahan Layu Bakteri



Sosoknya besar, lonjong, dan tahan layu bakteri. Itulah tomat ideal di mata Winarto, pekebun di Desa Banjarrejo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Tomat seperti itu kini sudah ditanam Winarto di lahan seluas 2.000 m2. Kriteria ideal itu terpenuhi oleh tomat bernama kalus. Winarto menanam 1.000 kalus dengan jarak 50 cm x 60 cm di akhir musim hujan. Lokasi penanaman bersebelahan dengan 7 varietas lain. “Dari 8 jenis tomat yang ditanan hanya kalus yang tahan layu bakteri,” ujar Winarto sambil terus mengamati pertumbuhan kalus yang saat itu tetap segar di umur 65—70 hari. Ketujuh varietas lain batangnya tampak layu dan produksi buah pun rendah,Indo rata-rata 2—3 kg/tanaman.

Tahan layu bakteri memang tujuan utama Syngenta Indonesia saat menciptakan kalus. Maklum, “Penyakit layu bakteri menjadi momok pekebun hampir di setiap sentra tomat,” kata Aziz Hardjanto, peneliti dari Syngenta di Malang. Hal senada diungkapkan Prof Dr Ati Srie Duriat, peneliti di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) di Bandung. “Layu bakteri banyak menyerang keluarga Solanaceae pada musim penghujan,” katanya.

Gejala serangan layu bakteri terlihat dari pucuk daun membusuk, lalu menjalar ke seluruh tubuh tanaman. Dampaknya, “Produksi tomat pasti turun,” ujar Ati. Setelah uji multilokasi di Malang, Blitar, Garut, Majalengka, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara, terbukti kalus tahan layu bakteri. Pantas, pada akhir 2009 kalus dilepas sebagai varietas unggul oleh Departemen Pertanian RI—kini Kementerian Pertanian RI.

Kokoh
Selain tahan layu bakteri, sosok kalus kokoh. Maklum, kalus mesti mampu menahan bobot buah yang mencapai 90 g/buah. Jenis lain sekitar 40—50 g/buah. Ukurannya itu pas dengan permintaan pasar. “Sejak 2 tahun ini tomat besar dan lonjong yang diminta,” kata Winarto. Bila harga jual Rp6.000/kg, Winarto meraup omzet Rp24-juta—Rp30-juta dari panen sebanyak 4.000—5.000 kg.

Syngenta Indonesia juga meluncurkan kadia yang bobot buahnya mencapai 80 g. Kadia cocok ditanam di dataran menengah sampai tinggi. Pemeliharaan tomat di dataran tinggi tak luput dari serangan layu bakteri. Sulaiman, pekebun di Dusun Gumu, Pujon Kidul, Batu, Jawa Timur, mengalaminya. Sejak 2 tahun lalu membudidayakan tomat, produksi setiap kali panen turun lantaran layu bakteri. Namun, setelah menanam 4.500 kadia di lahan seluas 0,25 ha pada 2009, tak terlihat serangan layu bakteri. “Produksi kadia lebih tinggi 10—15% dibanding tomat lain,” kata Sulaiman.

Kalus dan kadia mewarisi sifat safiro yang hadir lebih awal, pada 2007. Bobot safiro lebih besar, mencapai 100 g/buah. Pada saat itu bobot buah besar sulit diterima pasar. “Tomat besar dijuluki tomat buah. Yang banyak diminati pasar justru tomat sayur yang berbobot 40—50 g/buah,” kata Aziz.

Belakangan safiro ditanam juga oleh pekebun karena produk keluaran Syngenta Indonesia itu tahan virus gemini hingga 80—90%. “Virus gemini lebih sulit ditangani karena penyebarannya cepat,” kata Ati. Oleh karena itu kehadiran varietas tahan virus gemini sangat ditunggu pekebun.

Mancanegara
Tak hanya di lokal, varietas-varietas tomat baru terus bermunculan di negaranegara Eropa. Saat wartawan Trubus Rosy Nur Apriyanti mendatangi Tomato World di Zwethlaan, Honselerdijk, Belanda, pada Oktober 2009 dijumpai 10 varietas baru tomat dengan sosok menarik.

Orama dari Western Seed, misalnya, tampil mencolok dengan daging buah dibungkus kulit berwarna jingga. Tomat itu menjadi istimewa karena bobot buahnya mencapai 100—120 g. Dari semua tomat yang disebutkan tadi, claree yang dihasilkan Enza Zaden dari Belanda memiliki bobot paling kecil sekitar 14—16 g/buah. Meski sosoknya kecil, claree tahan terhadap virus gemini.

TRUBUS-ONLINE

Comments

  1. Mesan bibit SAFIRO bisa ngak?Ditempat saya ngak ada yang menjual.Tolong infonya ya.

    ReplyDelete

Post a Comment